Betul katamu, seorang sahabat ga hanya larut dlm kebahagiaan temannya, tapi juga harus bisa dan bersedia ada bukan pada saat ceria ....
Lagi-lagi corong masjid itu berbunyi kembali. Bukan, kali ini bukan datang dari suara adzan. Senandung kalam illahi, yang lima kali sehari tiada henti diserukan. Bukan pula berisi pengumuman, jika hari ini kampungku mendapat giliran listrik padam. Orang bilang suara itu adalah "siaran Innalillahi". Sebagai pertanda jika ada salah satu dari kami yang pergi.
Tak tahu kenapa "siaran innalillahi" itu sekarang seringkali terdengar. Padahal, rasanya belum terlalu lama nama Emak disebut-sebut di dalamnya. Kini, entah giliran siapa lagi yang harus memenuhi panggilan-NYA. Yang aku tahu saat ini aku juga sedang berada dalam daftar tunggu itu. Menunggu giliran namaku untuk dipanggil nanti. Meski hingga detik ini aku masih saja merasa belum siap menghadapinya. Tapi, mau atau tidak mau, suka ataupun tak suka, kelak namaku pasti akan dipanggil pula melalui corong masjid itu.
Jika dirasa hidup ini berjalan begitu singkatnya. Sepertinya baru kemarin aku masih menjadi seorang bocah. Lelaki kecil yang gemar bermain ciprat air kali. Bertelanjang dada dengan riangnya. Kadang pula nampak polos tiada sehelai benang, tanpa malu-malu. Kini lelaki kecil itu telah menjadi seorang lelaki dewasa, yang masih saja mau terbujuk nafsu dunia. Sekarang lelaki kecil itu nampak pula begitu mesra berteman bisikan di kanan kirinya. Namun sayang, kadang lelaki itu lebih suka mengamini bujuk telinga kiri, dan tak mengindahkan bisik bidadari yang muncul di telinga kanan.
Itulah bisik rayu yang selalu tawarkan legit duniawi. Memburuku secara bertubi-tubi, tanpa ampun. Dengan segala cara hingga aku mau terpedaya. Tiada henti menyerang titik-titik fitrah dari berbagai arah. Setiap waktu cuma itu yang dia lakukan. Sebab, hanya satu sebenarnya yang dia kehendaki. Aku mau mengangkat bendera putih tinggi-tinggi, itu saja. Selebihnya dia hanya tertawa lepas saat melihatku telah berlaku culas. Lalu berlalu begitu saja. Meninggalkan rasa sesal juga noda sebagai kenangan buatku. Yah, sebuah noda yang kini menghias di pundak kiriku.
Duh GUSTI, harus dengan cara apa kubasuh semua noda yang telah ada. Harus bagaimana pula kukikis semua kerak di hati ini hingga habis. Ah, andai saja di dunia ada penyedia pulsa hidup manusia, mungkin aku akan membeli satu saja voucher geseknya. Agar bisa menambah masa aktif usiaku, serta bangkit dari keterpurukan masa lalu itu. Tapi, kurasa itu adalah hal yang sia-sia belaka. Maut pasti kan datang tanpa perlu kita menjemput. Menjadi tua adalah sebuah perkara yang tak sedetikpun kita mampu menghentikannya.
----------------
note : Met milad mbak Arie aka Mimi Radial. Semoga sisa usiamu penuh barokah. Seperti halnya obrolan kita tempo hari yang lalu, aku berharap semoga kau bisa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya "jalan sorga" yang ada di kanan kirimu. Maaf jika tak ada kado spesial yang bisa kuhadiahkan. Mungkin hanya sebuah video sederhana saja yang mampu kuberikan. Sebagai tanda jabat tangan hangat dari seorang sahabat.
Sengaja kok aku membuatmu nesu karena tak turut perhelatan GA ultahmu. Bukan, bukan berarti aku tak mau larut dalam keceriaan hari jadimu. Tapi, aku hanya ingin menjadi seorang sahabat yang tak hanya ada saat kau ceria tertawa. Semoga tulisan ini bisa menjadi renungan di hari isi ulang usiamu, terlebih buat diriku sendiri. Yah, sebagai renungan bersama, jika dengan bertambahnya usia, itu berarti akan semakin dekat pula corong masjid itu akan memanggil-manggil nama kita.